Dalam ayat-ayat sebelumnya, QS At-Takatsur 1-4, Allah menjelaskan bahwa sikap bermegah-megahan dan berlomba-lomba dalam memperbanyak harta atau kedudukan bisa melalaikan manusia dari tujuan utama hidup di dunia. Kesibukan ini bisa begitu menghanyutkan hingga akhirnya kematian datang tanpa disadari. Karena itu, Allah memperingatkan, "Janganlah begitu!" Jika saja kita benar-benar memahami dan menyadari akibat dari perbuatan tersebut, tentu kita tidak akan tergoda untuk melakukannya.
Di ayat selanjutnya (5-7), Allah kembali menegaskan peringatan ini, mengajak kita untuk memikirkan tanda-tanda yang telah Dia berikan hingga keyakinan itu tumbuh kuat dalam hati kita.
كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ ٱلْيَقِينِ ٥
(5) Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,
لَتَرَوُنَّ ٱلْجَحِيمَ ٦
(6) niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jaḥīm,
ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ ٱلْيَقِينِ ٧
(7) dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ainul yakin.
Tafsir
Sesungguhnya, jika kalian memiliki ilmal yaqin—yakni keyakinan yang lahir dari ilmu, pemahaman, dan pemikiran yang benar—tentang akibat dari perbuatan kalian, niscaya kalian tidak akan lalai dalam ketaatan kepada Allah. Kalian akan menyadari bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara, dan kesenangan yang melalaikan akan berujung pada konsekuensi di akhirat.
Namun, jika seseorang tetap tenggelam dalam kesibukan duniawi dan tidak mencari keyakinan melalui ilmu, maka pada akhirnya ia akan melihat neraka dengan ainal yaqin—keyakinan melalui penglihatan langsung. Ketika itu terjadi, tidak ada lagi kesempatan untuk kembali atau memperbaiki kesalahan; segalanya sudah terlambat.
Karena itu, ayat ini menjadi peringatan bagi manusia agar tidak menjadikan dunia sebagai tujuan utama hingga melupakan akhirat. Sebaliknya, dengan memahami realitas akhirat melalui ilmu yang benar, seseorang dapat lebih waspada dan tidak terbuai oleh kesenangan yang fana.
Ada beberapa refleksi yang bisa kita renungkan dari ketiga ayat ini
Refleksi #1 — Jenis-jenis yaqin 🧠✨
Refleksi #2 — Yang dituntut dari manusia adalah ‘ilmal yaqin 📖🤲
Refleksi #3 — Jangan tunggu hingga terlambat ⏳⚠️
Langkah Praktis — Apa yang bisa kita amalkan setelah men-tadabburi ayat ini? 🏆💡
Mari kita dalami satu per satu.
Refleksi #1 — Jenis-jenis yaqin
كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ ٱلْيَقِينِ
Janganlah begitu, jika saja kamu mengetahui dengan ‘ilmal yaqiin,”
(At-Takatsur: 5)
Menurut Tafsir Jalalain, ayat di atas dapat dipahami menjadi: (Janganlah begitu) sesungguhnya (jika kalian mengetahui dengan ‘ilmal yaqin) tentang akibat perbuatan bermegah-megahan itu, niscaya kalian tidak akan terlalaikan dari taat kepada Allah.
Secara bahasa, yaqiin berarti nyata dan terang, menunjukkan sesuatu yang terbukti, jelas, dan tidak diragukan. Dalam Al-Qur'an, kata yaqiin bahkan digunakan untuk menggambarkan kematian (lihat Surah Al-Hijr ayat 99), karena kematian adalah sesuatu yang tak diragukan lagi pasti datang. Adakah diantara kita yang tidak yakin bahwa kematian akan datang?
Ada tiga jenis yaqiin:
Ilmul Yaqin: Keyakinan yang didasarkan pada pengetahuan atau informasi yang diterima. Sebagai contoh, seseorang yakin bahwa ada api dengan melihat tanda-tandanya, yaitu terdapat asap dan panas. Berdasarkan ilmu pengetahuan dan logika, adanya asap dan panas itu cukup untuk meyakini bahwa memang ada api.
Ainul Yaqin: Keyakinan yang diperoleh melalui penglihatan atau penyaksian langsung. Misalnya, seseorang baru meyakini ada api jika sudah melihat langsung dengan mata kepala sendiri.
Haqqul Yaqin: Keyakinan yang dicapai melalui pengalaman langsung. Misalnya, seseorang baru meyakini ada api jika sudah menyentuh merasakan panasnya secara langsung.
Refleksi #2 — Yang dituntut dari manusia adalah ‘ilmal yaqin
Yang Allah tuntut dari manusia terkait keberadaan-Nya, dan sebagai konsekuensinya, menaati-Nya, adalah berdasarkan ‘ilmal yaqin—keyakinan yang didasarkan pada pengetahuan yang benar. Bukan ainul yaqin (melihat langsung dengan mata kepala) apalagi haqqul yaqin (merasakan secara nyata).
Allah telah memberikan tanda-tanda keberadaan-Nya yang tersebar di seluruh alam semesta. Allah juga telah mengutus Rasul-Nya sebagai pembawa petunjuk agar manusia bisa mencapai keyakinan melalui ‘ilmal yaqin, yaitu melalui pemahaman dan informasi yang terpercaya.
Namun, orang-orang kafir yang menentang Rasulullah menuntut lebih dari itu. Mereka berkata bahwa mereka baru akan percaya jika Allah menampakkan diri-Nya secara langsung. Mereka menuntut ainul yaqin—keyakinan yang muncul setelah melihat dengan mata kepala sendiri (lihat QS Al-Baqarah: 55). Padahal, seandainya pun diperlihatkan secara nyata kepada mereka, mereka tetap akan mencari-cari alasan untuk tidak beriman (lihat QS Al-An’am: 7).
Refleksi #3 — Jangan tunggu hingga terlambat
لَتَرَوُنَّ ٱلْجَحِيمَ, ثُمَّ لَتُسْـَٔلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ ٱلنَّعِيمِ
"Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin."
(At-Takatsur: 6-7)
Di sini Allah menegaskan bahwa akan ada saat ketika orang-orang itu benar-benar melihat neraka dengan mata kepala sendiri. Orang-orang yang ingkar mungkin berkata, “Kami baru percaya kalau sudah melihat sendiri.” Tapi di ayat ini, Allah menegaskan bahwa mereka akan melihatnya, namun saat terjadi, itu sudah terlambat!
Dan kata jahim dalam bahasa Arab mengandung makna “menatap tajam.” Itu seakan menggambarkan neraka sebagai sesuatu yang tidak hanya terlihat oleh manusia, tetapi sesuatu yang juga “menatap” balik mereka, mengintai, seolah menunggu orang yang menjadi targetnya.
Langkah Praktis
Berikut adalah kiat praktis yang dapat kita terapkan untuk mengamalkan tuntunan dari QS At-Takatsur ayat 5-7 ini:
Proaktif membaca tanda-tanda: jangan menunggu sampai akibat buruk terjadi untuk mulai berubah. Contoh:
Jangan menunda taubat hingga usia lanjut.
Perbaiki hubungan keluarga sebelum terjadi keretakan dengan mulai mendedikasikan waktu lebih banyak untuk mereka.
Luangkan waktu untuk kontemplasi: jadikan evaluasi diri sebagai kebiasaan harian. Tanyakan pada diri sendiri:
Apakah yang saya lakukan hari ini mendukung tujuan akhirat saya?
Apakah ada hal yang seharusnya saya prioritaskan lebih baik?
Referensi
Tafsir al-Jalalain, Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi
Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka
Tadabbur Lainnya di Jurnal Quran
Jangan Terjebak di Perlombaan yang Salah (Tadabbur QS At-Takatsur ayat 1-3)
Tuntunan Surah Al-Insyirah: 6 Cara Menghadapi Kesulitan Hidup (Tadabbur QS Al-Insyirah: 1-8)
Doa untuk Bab-Bab Kehidupan: Masuk Terhormat, Keluar Mulia (Tadabbur QS Al-Isra: 80)
Bekerja Menggunakan Keahlian Kita adalah Bentuk Syukur (Tadabbur QS Saba ayat 10-13)
Berpikir Terbuka dan Kritis untuk Menemukan Kebenaran (Tadabbur QS Al-Jinn ayat 4-5)
Saya ingin bertanya. Dalam kehidupan pasti butuh yang namanya kebutuhan jasmani seperti makan Dan sebagainya. Untuk mendapatkan itu kita harus ikhtiyar bukan hanya berdoa tapi bekerja juga. Saya seorang ibu rumah tangga sekaligus wanita Karir. Saya memang sudah berniat membantu suami untuk mencari nafkah. Alhamdulillah kebutuhan kami insyaallah terpenuhi dengan baik. Tapi dengan itu, aktifitas ibadah saya terbengkalai. Yang sebelumnya saya bisa merutinkan baca al Quran tiap shubuh, saya harus lepaskan agar segala kebutuhan anak Dan suami tidak terbengkalai. Saya sampai saat ini Masih bingung. Kalau saya tetap kekeh untuk membaca al Quran di waktu shubuh, segala kebutuhan rumah tangga saya terbengkalai. Bagaimana menurut anda, apa yg sebaiknya saya lakukan?
Dit coba bahas yg dimaksud na’im di akhir ayat ini apa? Seperti nikmat2 berupa nikmat hidup, kepandaian, harta, itu semua akan ditanyakan nanti