
Ketika sekelompok jin mendengar bacaan Al-Quran, mereka segera menyadari kebenaran yang selama ini terhalang dari mereka. Dalam pengakuan mereka, terungkap bahwa yang menghalangi mereka dari kebenaran adalah sifat safih (سَفِيهُ)—yang berarti keras kepala, bebal, atau menutup diri dari pemahaman—serta kebiasaan menerima informasi tanpa berpikir kritis.
وَأَنَّهُۥ كَانَ يَقُولُ سَفِيهُنَا عَلَى ٱللَّهِ شَطَطًا
"Sesungguhnya orang yang bodoh di antara kami selalu mengucapkan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah." (QS Al-Jinn: 4)
وَأَنَّا ظَنَنَّآ أَن لَّن تَقُولَ ٱلۡإِنسُ وَٱلۡجِنُّ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبًا
"Sesungguhnya kami mengira bahwa manusia dan jin itu tidak akan mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah." (QS Al-Jinn: 5)
Tafsir
Menurut tafsir Buya Hamka, Ar-Razi, dan Baydhawi, Surah Al-Jinn ayat 4-5 menjelaskan bahwa sekelompok jin tadinya terhalang dari kebenaran karena sifat safih—keras kepala atau menutup diri—dan kebiasaan menerima informasi tanpa berpikir kritis. Ketika mendengar Al-Quran, mereka akhirnya menyadari kesalahan keyakinan mereka, termasuk anggapan keliru bahwa Allah memiliki sekutu atau anak. Tafsir-tafsir tersebut menegaskan pentingnya membuka diri terhadap wahyu dan meneliti kebenaran dengan cermat agar terhindar dari kesesatan.
Refleksi #1 — Berpikiran Terbuka
وَأَنَّهُۥ كَانَ يَقُولُ سَفِيهُنَا عَلَى ٱللَّهِ شَطَطًا
"Sesungguhnya orang yang bodoh di antara kami selalu mengucapkan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah." (QS Al-Jinn: 4)
Sifat safih, atau kebebalan, membuat seseorang tidak mau mendengar atau memikirkan kebenaran. Akibatnya, muncul berbagai klaim tidak masuk akal tentang Allah, seperti mengatakan bahwa Dia memiliki anak, istri, atau sekutu. Jika saja mereka mau berpikir menggunakan akal sehat, klaim-klaim itu jelas bertentangan dengan logika.
Namun, orang yang memiliki sifat safih justru mengabaikan semua nasihat dan kebenaran yang datang kepada mereka. Bahkan jika kebenaran itu begitu jelas, mereka tetap memilih untuk menutup diri.
Pelajaran untuk Kita: Ayat ini mengajarkan kita untuk menjauhi sifat safih dengan melatih diri agar berpikiran terbuka. Jangan pernah menutup telinga atau hati terhadap kebenaran, dari mana pun sumbernya. Sifat ini akan membantu kita memahami kebenaran yang mungkin sebelumnya terhalang oleh kebebalan atau prasangka.
Refleksi #2 — Bersikap Kritis
وَأَنَّا ظَنَنَّآ أَن لَّن تَقُولَ ٱلۡإِنسُ وَٱلۡجِنُّ عَلَى ٱللَّهِ كَذِبًا
"Sesungguhnya kami mengira bahwa manusia dan jin itu tidak akan mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah." (QS Al-Jinn: 5)
Sebelum mendengar Al-Quran, jin-jin ini mengira bahwa apa pun yang mereka dengar tentang Allah adalah benar. Mereka tidak membayangkan ada yang berani berdusta atas nama Allah. Namun, setelah mendengar kebenaran melalui wahyu, mereka menyadari bahwa anggapan tersebut keliru.
Sikap menerima informasi begitu saja tanpa memverifikasinya adalah kebalikan dari sifat kritis. Hal ini membuat seseorang mudah terperangkap dalam keyakinan yang salah, terutama jika informasi tersebut sudah dianggap sebagai "tradisi" atau "sudah seperti itu sejak dulu."
Pelajaran untuk Kita: Ayat ini mengingatkan kita untuk tidak menerima sesuatu secara mentah-mentah. Sebaliknya, biasakan untuk memeriksa kebenaran setiap informasi dengan akal sehat dan logika. Bersikap kritis bukan berarti selalu menentang, tetapi memastikan bahwa apa yang kita yakini benar-benar berdasar pada kebenaran yang valid.
Langkah Praktis
Berdoa untuk dibimbing ke kebenaran, agar Allah memberikan hati yang terbuka dan kemampuan untuk melihat kebenaran dari mana pun sumbernya.
Dengarkan pandangan dari orang lain, meskipun berbeda dengan keyakinan atau pendapat pribadi. Berusahalah memahami sudut pandang mereka sebelum membuat penilaian.
Perluas wawasan dengan membaca buku, artikel, atau mendengar ceramah dari berbagai perspektif. Misalnya, pelajari pemikiran dari ahli dalam bidang yang berbeda atau tradisi keilmuan yang beragam.
Bergabunglah dengan kelompok diskusi yang mendukung keterbukaan pikiran dan penghargaan terhadap argumen yang logis.
Biasakan memeriksa segala hal, baik informasi, pola pikir, maupun keyakinan, menggunakan akal sehat dan penalaran yang mendalam, agar terhindar dari kesalahan atau kebiasaan yang tidak benar.
Pelajari cara berpikir logis untuk mengasah kemampuan analisis dan evaluasi. Ini hal yang fundamental dalam pendidikan. Di pesantren terdapat ilmu mantiq yang melatih penalaran sistematis, sementara di pendidikan formal seperti perkuliahan, terdapat mata pelajaran formal logic yang membahas prinsip-prinsip logika. Terkait poin ini, ada beberapa buku yang bagus untuk dibaca:
"Thinking, Fast and Slow" oleh Daniel Kahneman, yang membahas bagaimana manusia berpikir dan membuat keputusan.
"A Rulebook for Arguments" oleh Anthony Weston, sebuah panduan ringkas untuk menyusun argumen yang logis.
"The Art of Thinking Clearly" oleh Rolf Dobelli, yang memberikan wawasan praktis untuk menghindari kesalahan berpikir umum.
Hargai logika dan kepakaran dengan memberi tempat kepada pendapat yang didukung oleh argumen yang kuat dan pengetahuan mendalam di bidangnya. Jangan abaikan masukan dari para ahli hanya karena tidak sesuai dengan kebiasaan atau pandangan pribadi.