Pada masa-masa awal Nabi Muhammad ﷺ mulai mendakwahkan Islam, kaumnya memberikan reaksi penentangan yang keras. Tidak hanya menolak ajaran beliau, kaum Quraisy juga memberikan tekanan dan intimidasi yang berat untuk menghentikan dakwahnya. Dalam situasi inilah Allah menurunkan wahyu berupa surah Al-Insyirah. Surah ini menjadi penopang yang membangkitkan kembali kekuatan beliau untuk melanjutkan tugas berat menyampaikan risalah, seraya menanamkan ketenangan dan optimisme.
Tafsir
Surah Al-Insyirah mengandung pesan penghiburan dan motivasi bagi Nabi Muhammad ﷺ. Allah menegaskan bahwa Dia telah melapangkan dada Nabi dengan anugerah kenabian serta menghilangkan beban yang memberatkannya, sebagaimana disebutkan dalam ayat lain. Allah juga meninggikan nama Nabi dengan menjadikannya selalu disebut bersama nama-Nya dalam azan, iqamah, tasyahhud, dan berbagai ibadah lainnya. Selain itu, Allah memberikan jaminan bahwa setelah kesulitan pasti ada kemudahan, sebagaimana yang dialami Nabi dalam menghadapi perlawanan kaum kafir hingga akhirnya meraih kemenangan.
Sebagai bentuk penguatan spiritual, Allah memerintahkan Nabi untuk bersungguh-sungguh dalam beribadah dan berdoa setelah menyelesaikan suatu urusan, terutama salat. Hal ini mengajarkan bahwa setelah menyelesaikan satu tugas, hendaknya seseorang berusaha lebih giat lagi dalam hal kebaikan. Pada akhirnya, Allah menegaskan bahwa segala harapan dan permohonan harus ditujukan hanya kepada-Nya dengan penuh ketundukan dan keikhlasan.
Refleksi — Tuntunan menghadapi masalah
Surah Al-Insyirah ini juga ditujukan untuk kita. Ya, kita semua, sebagai umat Nabi Muhammad ﷺ.
Ketika kita menghadapi kesulitan, surah ini terasa seperti sapaan lembut dari Allah yang menenangkan jiwa. Baik itu dalam urusan pekerjaan, studi, keluarga, atau bahkan persoalan batin, ayat-ayat ini memberikan ketenangan sekaligus kekuatan dalam menghadapi tantangan yang kita alami.
Berikut ini adalah 6 tuntunan Surah Al-Insyirah ketika kita menghadapi masalah yang berat dalam hidup:
1️⃣ Mengingat Kebaikan Allah di Masa Lalu
2️⃣ Mengingat Kembali Tujuan Kita
3️⃣ Memulihkan Kepercayaan Diri
4️⃣ Menjaga Optimisme, Meyakini Allah Menyediakan Kemudahan
5️⃣ Menyeimbangkan Antara Bekerja dan Beribadah
6️⃣ Memusatkan Pengharapan Kita kepada Allah
Mari kita dalami satu per satu.
1. Mengingat Kebaikan Allah di Masa Lalu
Allah memulai dengan mengingatkan Rasulullah ﷺ akan nikmat yang telah Dia berikan:
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ, وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ, ٱلَّذِىٓ أَنقَضَ ظَهْرَكَ
"Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan Kami telah menghilangkan darimu bebanmu yang memberatkan punggungmu?"
(QS Al-Insyirah: 1-3)
Peringatan ini mengajarkan kita untuk berhenti sejenak di tengah badai, lalu melihat ke belakang dan mengenang bagaimana Allah telah membimbing kita melalui kesulitan sebelumnya.
Contoh sederhananya, ketika menghadapi masalah finansial, ingatlah momen-momen ketika Allah memudahkan jalan rezeki yang tak terduga di masa lalu. Rasa syukur yang muncul akan menjadi bahan bakar untuk menguatkan hati.
2. Mengingat Kembali Tujuan Kita
Kembali ke ayat ke-2,
وَوَضَعْنَا عَنكَ وِزْرَكَ
“dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu”
(QS Al-Insyirah: 2)
Beban apakah yang dimaksud? Beban itu adalah kegelisahan akan hakikat kehidupan.
Sebelum menjadi nabi, beliau sangat gelisah mencari hakikat kebenaran dan merasa khawatir akan kondisi kaumnya yang penuh dengan kebodohan, masalah moral, dan berbagai persoalan sosial lainnya.
Kegelisahan tersebut membuat beliau semakin sering menyendiri di gua untuk merenung. Pada suatu malam di Gua Hira, Malaikat Jibril mendatangi dan menurunkan wahyu pertama kepada beliau.
Dengan diberikannya wahyu itu, Allah menghapus beban kegelisahan yang dirasakan beliau. Beban yang begitu berat, seakan meretakkan punggung beliau. Beban ini dihilangkan melalui wahyu yang menjelaskan kebenaran dan hakikat hidup.
Ayat ini mengajarkan pada kita bahwa memiliki sense of purpose itu penting bagi jiwa kita, yaitu perasaan bahwa hidup kita memiliki arti dan arah yang jelas. Inilah yang menimbulkan ketenangan dalam hidup, atau yang dalam istilah psikologi, disebut inner peace.
Tanpa sense of purpose, seseorang cenderung merasa hampa, kehilangan arah, dan tidak memiliki tujuan yang jelas. Ini dapat menyebabkan stres, kecemasan, depresi, dan masalah psikologis lainnya.
Karena itu, ketika kita dihantam masalah yang berat, ingat-ingat kembali alasan kita memulai semua ini. Ingat-ingat kembali apa higher purpose dari semua ini.
3. Memulihkan Kepercayaan Diri
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ
"Dan Kami meninggikan (derajat)-mu dengan (selalu) menyebut-nyebut (nama)-mu."
(QS Al-Insyirah: 4)
Di ayat ke-4, Allah mengingatkan Rasulullah saw, bagaimana nama beliau ditinggikan dan dimuliakan. Setiap kali nama Allah disebut, disebut juga nama Muhammad Rasulullah saw. Misalnya, pada bacaan tahiyyat, adzan, syahadat, dan sebagainya.
Walaupun kaum yang menentang beliau merendahkan dan menghina namanya dengan sebutan pembohong, orang gila, dan tukang sihir, Allah tetap meninggikan nama beliau hingga menjadi sangat mulia. Kini, banyak orang menyebut namanya sebagai bentuk penghormatan dan kecintaan kepada beliau.
Ketika seseorang berulang kali dihina, direndahkan, dan difitnah, perasaan rendah diri akan muncul. Mereka cenderung merasa tidak berharga, tidak cukup baik, dan kurang percaya diri. Hal ini juga membuat mereka membandingkan diri dengan orang lain, merasa tidak sepadan, dan mudah merasa insecure.
Ketika seseorang mengalami kegagalan demi kegagalan, mereka tidak hanya merasakan kekecewaan, tetapi juga kerap mulai meragukan kemampuan dirinya sendiri. Perasaan meragukan diri (self-doubt) ini dapat membuat seseorang mempertanyakan nilai dirinya secara menyeluruh, bukan hanya pada sisi kompetensi, tetapi juga pada aspek harga diri dan kelayakan pribadi.
Jadi, sangat penting untuk memulihkan rasa keberhargaan diri terlebih dahulu, baik dari sisi spiritual maupun psikologis. Secara spiritual, kita harus menjalin hubungan dengan Allah dan kembali meyakini bahwa Allah menyayangi kita dan menginginkan kita menjadi baik. Secara psikologis, langkah penting yang harus diambil adalah mencari dukungan dari orang terdekat, menemukan lingkungan yang positif, dan menjauh dari lingkungan yang toxic.
4. Menjaga Optimisme, Meyakini Allah Menyediakan Kemudahan
فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا, إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًۭا
"Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan."
(QS Al-Insyirah: 5-6)
Kata "مَعَ" (ma'a) artinya "bersama", bukan "sesudah". Ini berarti kesulitan dan kemudahan selalu datang bersamaan. Setiap ada kesulitan, selalu ada sisi kemudahan yang menyertainya.
Selain itu, kata "kesulitan" disampaikan dengan alif-lam (العُسْرُ) yang mengacu pada kesulitan spesifik, sementara "kemudahan" disampaikan tanpa alif-lam, yang menunjukkan kemudahan yang tak terbatas. Artinya, setiap satu kesulitan tertentu akan selalu diiringi oleh kemudahan-kemudahan yang tidak ada batasnya. Bisa jadi kemudahan itu datang dari arah yang tidak diduga-duga.
Tambah lagi, frasa tersebut diulang dua kali. Kata kesulitan (العُسْرُ) pada kalimat kedua masih merujuk pada kesulitan yang sama dengan kalimat pertama. Namun, kata kemudahan (يُسۡرًا) pada kalimat kedua tidak harus merujuk pada entitas yang sama dengan kalimat pertama. Hal ini mengisyaratkan bahwa jumlah kemudahan yang diberikan lebih banyak daripada kesulitan yang dihadapi.
Apa yang bisa kita refleksikan dari ini? Di tengah kesulitan yang kita hadapi, kita harus terus menjaga optimisme. Kita harus terus mencari kesempatan, sekecil apapun, untuk keluar dari kesulitan tersebut dan bahkan memutarbalikkan keadaan menjadi lebih baik.
Namun perlu juga kita sadari bahwa mencari kesempatan di tengah kesulitan biasanya baru optimal jika dada sudah agak lapang. Masalah-masalah psikologis fundamental seperti kehilangan sense of purpose dan keberhargaan diri perlu diselesaikan terlebih dahulu agar seseorang dapat mulai berpikir lebih positif terhadap masa depannya.
5. Menyeimbangkan Antara Bekerja dan Beribadah
فَإِذَا فَرَغْتَ فَٱنصَبْ
"Maka apabila kamu telah selesai (dari satu urusan), maka berdirilah (untuk beribadah)."
(QS Al-Insyirah: 7)
Faragh (فَرَغۡ) artinya telah selesai dari suatu pekerjaan. Rasulullah saw menjalani pekerjaan yang berat di siang hari dalam berdakwah kepada kaumnya. Itu benar-benar melelahkan jiwa beliau.
A-nshab (ٱنصَبَ) artinya perintah untuk mendirikan atau menegakkan. Maksudnya disini adalah mendirikan shalat atau beribadah. Bisa juga dimaknai dengan menegakkan atau mengangkat kembali semangat yang terkulai atau terjatuh.
Jika dirangkai, maka kalimatnya kira-kira seperti ini, jika sudah selesai dengan pekerjaanmu yang melelahkan itu, maka lanjutkanlah dengan berdiri untuk beribadah agar jiwamu yang lelah itu kembali tegak. Ini dilakukan sebagai suatu siklus yang tidak berhenti. Disinilah masuk tafsir ayat yang bermakna jika telah selesai suatu urusan, segera kerjakan urusan yang lain.
Kita perlu menyeimbangkan antara bekerja dengan beribadah dalam siklus aktifitas keseharian kita. Umumnya di siang hari kita disibukkan dengan berbagai pekerjaan yang melelahkan dan menguras energi kita. Ini perlu dilanjutkan di malam harinya dengan ibadah yang me-recharge kembali energi jiwa kita. Lakukanlah ini sebagai siklus yang tidak pernah berhenti.
6. Memusatkan Pengharapan Kita kepada Allah
وَإِلَىٰ رَبِّكَ فَٱرْغَب
”dan hanya kepada Tuhan-mulah hendaknya kamu berharap.”
(QS Al-Insyirah: 8)
A-rghab (ٱرۡغَب) artinya memusatkan perhatian pada apa yang diharapkan. Maksudnya, dalam semua aktivitas yang kita lakukan fokuslah kepada mengharapkan hanya ridha Allah. Kita mengaitkan kebahagiaan dan tujuan tertinggi hanya kepada Allah.
Apapun kondisi yang kita alami, sebisa mungkin kita menjaga orientasi tujuan dan pengharapan kita hanya kepada Allah. Ini lebih mudah diucapkan daripada dikerjakan. Semangat kita naik-turun. Sebagai manusia, wajar kita merasa down, kecewa, sakit hati—sebagaimana wajar kita merasa bahagia.
Lalu bagaimana cara kongret dari menjaga orientasi? Kita bisa menanyakan dua pertanyaan refleksi kepada diri sendiri secara terus-menerus:
Pertama, tanyakan “Apakah niat dan tindakan saya sejalan dengan tuntunan dan aturan yang Allah dan Rasul-Nya gariskan?”
Kedua, tanyakan “Apakah pada akhirnya yang saya harapkan adalah ridha Allah?”
Dengan menanyakan pertanyaan di atas secara berkala, kita dapat mengevaluasi tindakan dan pikiran kita apakah masih berada pada jalur yang benar. Jika melenceng, segera kita koreksi. Sebagai manusia, tidak mungkin kita tidak pernah melenceng. Yang perlu dilakukan adalah terus mengawasi diri kita sendiri dan segera kembali ke track jika melenceng.
Penutup
Sebagai kesimpulan, Surah Al-Insyirah mengajarkan kita bahwa di balik setiap kesulitan selalu ada kemudahan yang menyertainya. Dengan merenungi ayat-ayatnya, kita diajak untuk mengingat nikmat Allah, menemukan kembali tujuan hidup, memulihkan kepercayaan diri, serta menjaga optimisme dalam menghadapi tantangan. Selain itu, keseimbangan antara usaha dan ibadah menjadi kunci dalam menjaga ketenangan jiwa, sementara pengharapan yang teguh kepada Allah menjadi sumber kekuatan sejati. Dengan menjadikan pesan-pesan dalam surah ini sebagai pedoman, kita dapat menghadapi berbagai ujian hidup dengan lebih lapang dan penuh keyakinan bahwa Allah selalu menyediakan jalan keluar bagi hamba-Nya yang bersabar dan bertawakal.
Referensi
Tafsir al-Jalalain, Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi
Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka
Tadabbur Lainnya
Doa untuk Bab-Bab Kehidupan: Masuk Terhormat, Keluar Mulia (Tadabbur QS Al-Isra: 80)
Bekerja Menggunakan Keahlian Kita adalah Bentuk Syukur (Tadabbur QS Saba ayat 10-13)
Berpikir Terbuka dan Kritis untuk Menemukan Kebenaran (Tadabbur QS Al-Jinn ayat 4-5)
Keajaiban Al-Qur'an: Ketika Pesan Kebenaran Menyentuh Hati (Tadabbur QS Al-Jinn ayat 1-2)
Doa di Tengah Kebuntuan: Memohon Rahmat dan Bimbingan Allah (Tadabbur QS Al-Kahfi ayat 10)