Melanjutkan rangkaian tadabbur Surah At-Takatsur ayat 1-3 dan ayat 5-7, pada ayat ke-8 ini terdapat penawar dari masalah yang dijelaskan di ayat pertama (“Bermegah-megahan telah melalaikanmu“). Penawar dari terlalaikan adalah dengan terus-menerus menyadari bahwa akan ada pertanggungjawaban di akhir. Istilahnya, mindfulness.
ثُمَّ لَتُسْـَٔلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ ٱلنَّعِيمِ
”kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).”
QS At-Takatsur: 8
Tafsir — Kita akan ditanya tentang an-na’im: nikmat yang banyak dan sering terlupakan
Bahwa nanti pada hari kiamat setiap kita akan ditanya tentang an-na’im. Kata na'im itu sendiri mengandung makna nikmat yang begitu banyak dan terus-menerus, sehingga seringkali kita lupa bersyukur. Bahkan, seseorang yang hidup dalam kekurangan pun, takkan mampu menghitung nikmat-nikmat Allah.
Disini secara implisit kita diingatkan bahwa begitu banyak nikmat yang sering kita abaikan karena kehadirannya yang konstan, dan kita terlalu terbiasa dengan itu. Istilahnya, taken for granted.
Banyak yang bisa kita refleksikan dari ayat ini untuk diambil pelajarannya. Diantaranya:
📖 Refleksi #1 — Analogi: bocoran soal ujian
💡 Refleksi #2 — Banyaknya nikmat bukan ukuran kesuksesan
⚖️ Refleksi #3 — Bukan tentang kuantitas nikmat, tapi kualitas keputusan
⏳ Refleksi #4 — Pertanggungjawaban atas resources: waktu, harta, ilmu, dan fisik
🚀 Aplikasi dalam Kehidupan
Refleksi #1 — Analogi: bocoran soal ujian
Lalu, apa saja yang akan ditanyakan? Dalam sebuah hadits Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidak bergerak kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai ia ditanya tentang umurnya kemana ia menghabiskannya, tentang ilmunya apa yang dia lakukan, tentang hartanya dari mana ia mendapatkannya dan kemana ia belanjakan, dan tentang tubuhnya kemana ia hancurkan.” (HR. At-Tirmidzi dan ad-Darimi)
Hadits ini mengajarkan bahwa setiap individu akan dimintai pertanggungjawaban atas umurnya, ilmunya, hartanya, dan jasadnya.
Diberitahukannya pertanyaan-pertanyaan ini melalui Al-Quran dan hadits, menandakan bahwa Allah, dengan rahmat-Nya, menginginkan agar kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan baik di akhirat kelak.
Analoginya begini: Bayangkan hari pertama kuliah, dosen langsung memberikan daftar lengkap pertanyaan yang akan keluar di ujian akhir. Semua tersedia, jelas, tanpa misteri. Bagaimana mungkin seorang mahasiswa masih bisa gagal kecuali jika ia tidak mempersiapkan diri sama sekali? Pertanyaan untuk kita, apakah kita sungguh-sungguh bersiap?
Refleksi #2 — Banyaknya nikmat bukan ukuran kesuksesan
Nikmat, dalam Islam, bukanlah ukuran kesuksesan. Apa yang tampak seperti blessing bisa dengan mudah berubah menjadi musibah. Nikmat harta, misalnya—ia adalah anugerah jika digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menebar kebaikan. Tapi, harta yang sama bisa menjadi bencana jika malah memicu permusuhan, kezaliman, atau membuat kita lupa diri. Pada hakikatnya, setiap nikmat adalah ujian, dan setiap ujian punya dua kemungkinan: lulus atau gagal.
Surah At-Takatsur, khususnya hubungan antara ayat pertama dan terakhir, menggambarkan letak ujian itu. Kita gagal dalam ujian nikmat jika apa yang Allah berikan justru menjadi distraction, menjauhkan kita dari tujuan utama kehidupan. Nikmat dunia—harta, waktu, ilmu, bahkan kesehatan—bisa menjadi penghalang yang menipu jika kita tidak menjaga kesadaran (mindful). Karena itulah, kita harus selalu ingat bahwa semua yang kita nikmati akan dipertanggungjawabkan.
Refleksi #3 — Bukan tentang kuantitas nikmat, tapi kualitas keputusan
Perhatikan juga, pertanyaan-pertanyaan yang Allah siapkan bukan soal kuantitas: "Seberapa panjang umurmu?" atau "Berapa banyak hartamu?" Melainkan soal keputusan dan penggunaan: "Bagaimana umurmu dihabiskan? Darimana hartamu diperoleh, dan untuk apa dibelanjakan?" Ujian itu bukan tentang apa yang kita miliki, tetapi tentang apa yang kita lakukan dengan yang kita miliki.
Setiap nikmat adalah peluang, tapi juga amanah. Dan setiap amanah akan dimintai jawabannya. Maka, alangkah baiknya jika kita tidak hanya menikmati nikmat itu, tetapi juga menggunakannya untuk tujuan yang benar—agar ketika pertanyaan itu tiba, kita punya jawaban yang bisa kita banggakan di hadapan Allah.
Refleksi #4 — Pertanggungjawaban atas resources: waktu, harta, ilmu, dan fisik
Waktu, harta, ilmu, dan fisik adalah nikmat sekaligus amanah yang Allah titipkan kepada kita. Semua ini adalah resources untuk beramal, dan pertanggungjawaban kita di hadapan Allah nanti bukan hanya soal apa yang kita miliki, tetapi bagaimana kita memelihara dan menggunakan semua itu secara optimal. Mari kita renungkan lebih dalam satu per satu:
Waktu: Bagaimana kita mengelola waktu? Sudahkah kita menyusun skala prioritas untuk memastikan yang penting tidak tersingkir oleh yang mendesak? Dan mengapa masa muda begitu ditekankan? Karena inilah fase hidup yang menentukan alur masa depan—saat energi sedang melimpah, otak masih segar, dan peluang untuk berkarya terbuka luas. Tapi justru di masa inilah godaan terbesar juga datang, dari kemalasan hingga bujuk rayu kenikmatan dunia.
Harta: Proses mendapatkan harta harus bersih, dan cara kita mengelolanya harus cermat. Tapi itu saja belum cukup. Apa yang kita lakukan dengan harta tersebut? Apakah ia menjadi alat untuk mendekatkan diri kepada Allah—seperti menafkahi keluarga, membantu sesama, atau mendanai proyek yang bermanfaat? Ataukah justru menjadi pengikat hati kita kepada dunia?
Ilmu: Bagaimana kita mencari ilmu—apakah dengan sungguh-sungguh, atau sekadar mencari tanpa niat untuk mengamalkannya? Bagaimana kita memeliharanya? Ilmu bisa hilang jika tidak dipraktikkan. Apakah ilmu yang kita miliki telah membawa manfaat? Ingatlah, amal yang paling baik adalah yang tidak berhenti pada diri sendiri, tetapi menyebar kepada orang lain.
Fisik: Bagaimana kita menjaga kesehatan fisik dan mental kita? Dan untuk aktivitas apa kita gunakan kesehatan dan kekuatan fisik itu?
Aplikasi dalam Kehidupan
Menjaga mindfulness agar tidak terlalaikan oleh nikmat dunia membutuhkan usaha yang terarah dan konsisten. Berikut adalah langkah-langkah sederhana namun berdampak besar yang dapat membantu kita tetap sadar dan menggunakan nikmat sesuai amanah-Nya:
1. Kontemplasi: meluangkan waktu untuk merenung
Dalam kesibukan sehari-hari, kita sering lupa berhenti sejenak untuk merenungkan perjalanan hidup. Luangkan waktu di awal hari, akhir hari, atau saat suasana tenang untuk bertanya kepada diri sendiri:
Bagaimana aku memanfaatkan waktu hari ini?
Apakah nikmat yang Allah berikan sudah aku gunakan dengan baik?
Apa saja hal yang aku syukuri dan apa yang perlu aku perbaiki?
Merenung membantu kita menyadari kelemahan, memperbaiki niat, dan fokus pada tujuan utama hidup. Kontemplasi ini bisa dilakukan sambil berdoa, duduk dalam keheningan, atau saat tadabbur Al-Quran.
Sebuah white paper dari Yaqeen Institute memberi ulasan menarik tentang bagaimana menjadi mindful moslem melalui kontemplasi (dalam artikel ini disebut meditasi).
2. Journaling: mengelola rasa syukur dan kesadaran
Menulis adalah cara yang efektif untuk menjaga kesadaran kita. Cobalah untuk mencatat hal-hal berikut setiap hari:
Apa nikmat yang paling aku syukuri hari ini?
Apa yang aku pelajari hari ini?
Apa yang bisa aku lakukan lebih baik esok hari?
Journaling tidak hanya membantu kita fokus pada rasa syukur, tetapi juga untuk selalu ingat pada orientasi akhir dan nilai-nilai luhur yang kita yakini.
Beberapa contoh journaling yang dapat kita jadikan referensi antara lain The Shukr Lifestyle, Muslim Planners, dan Quran Journaling.
3. Doa dan dzikir: mengingat Allah di setiap kesempatan
Ada maksud mengapa dalam Islam setiap aktivitas memiliki doanya—agar kita senantiasa mengingat Allah dalam setiap langkah. Mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur, setiap doa menjadi pengingat bahwa kita hidup atas kehendak-Nya dan semua yang kita lakukan adalah bagian dari amanah kepada-Nya.
Beberapa contoh doa harian yang bisa menjadi kebiasaan:
Doa bangun tidur: “Alhamdulillahil-ladzi ahyana ba’da ma amatana wa ilaihin-nusyur” (Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nya kami akan kembali).
Membaca basmalah sebelum makan: “Bismillah” (Dengan nama Allah).
Mengucapkan hamdalah setelah selesai makan: “Alhamdulillahilladzi ath’amana wa saqana wa ja’alana muslimin” (Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami makan, minum, dan menjadikan kami sebagai orang-orang Muslim).
Doa masuk kamar mandi: “Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khaba’its” (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari gangguan jin laki-laki dan jin perempuan).
dan masih banyak contoh lainnya
Dengan doa-doa ini, hati kita akan lebih mudah terjaga dari kelalaian, langkah kita dimudahkan dalam kebaikan, dan nikmat dunia yang kita miliki tidak menjadi penghalang untuk mendekat kepada Allah.
4. Lingkungan yang baik: bersama saling mengingatkan
Lingkungan yang baik dapat membantu kita dalam menjaga kesadaran. Teman yang baik bisa menjadi pengingat, bahkan tanpa kata-kata, hanya dari melihat perilaku mereka. Cari komunitas yang baik, sahabat yang saling menasihati, atau keluarga yang mendukung.
Bersama mereka, kita akan lebih mudah mengarahkan fokus pada hal-hal yang bernilai dan menghindari terlalu banyak distraksi. Rasulullah ﷺ bersabda: “Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)
Penutup
Surah At-Takatsur, khususnya ayat kedelapan, mengingatkan kita untuk tidak terlalaikan oleh nikmat dunia. Setiap nikmat yang Allah berikan adalah ujian yang kelak akan dipertanyakan. Bukan jumlah nikmat yang menjadi fokus, melainkan bagaimana kita menggunakannya dengan bijak dan penuh kesadaran. Dengan membiasakan diri untuk kontemplasi, menulis jurnal syukur, berdoa dan berzikir dalam setiap aktivitas, serta memilih lingkungan yang baik, kita dapat menjaga mindfulness dan menjadikan nikmat sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Semoga di hari kiamat nanti, kita dapat menjawab pertanyaan tentang nikmat ini dengan penuh keimanan dan amal yang membanggakan di hadapan-Nya. 🌱
Referensi
Tafsir al-Jalalain, Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi
Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka
Tadabbur Lainnya di Jurnal Quran
Jangan Begitu, Karena Nanti Sudah Terlambat (Tadabbur QS At-Takatsur ayat 5-7)
Jangan Terjebak di Perlombaan yang Salah (Tadabbur QS At-Takatsur ayat 1-3)
Tuntunan Surah Al-Insyirah: 6 Cara Menghadapi Kesulitan Hidup (Tadabbur QS Al-Insyirah: 1-8)
Doa untuk Bab-Bab Kehidupan: Masuk Terhormat, Keluar Mulia (Tadabbur QS Al-Isra: 80)
Bekerja Menggunakan Keahlian Kita adalah Bentuk Syukur (Tadabbur QS Saba ayat 10-13)