Ironi Andalusia (Serial Perjalanan Andalusia #4)
Sejarah peradaban Islam di Andalusia mengajarkan kita bahwa kejayaan bukanlah jaminan keabadian—dari kemegahan hingga kehancuran, semuanya punya pola yang berulang.

Perjalanan di Andalusia menyimpan ironi. Kita dibuat takjub oleh arsitektur megah, ornamen yang rumit, serta istana dan taman yang indah—semuanya dibanggakan sebagai warisan peradaban Islam.
Namun, membangun istana dan taman megah sebenarnya bukanlah tradisi awal umat Islam. Itu pengaruh dari Romawi, Persia, dan India yang mulai diadopsi sejak Dinasti Umayyah. Di era Khulafaur Rasyidin, meskipun banyak wilayah ditaklukkan, termasuk kota penting Yerusalem, tak ada satu pun istana megah yang didirikan. Baru di era Umayyah, kemewahan mulai menjadi simbol kekuasaan.
Ironinya? Kemewahan ini justru adalah tanda kemunduran. Pemimpin yang bermewah-mewah biasanya adalah satu sisi dari sebuah koin. Sisi lainnya: tindakan korup. Tindakan korup memicu perpecahan dan kemunduran, perpecahan dan kemunduran memicu lebih banyak tindakan korup. Ini menjadi lingkaran setan.
Siklus Peradaban
Dijelaskan oleh Ibnu Khaldun dalam karyanya yang terkenal, Muqaddimah—bahwa peradaban memiliki siklusnya sendiri—lahir, berkembang, mencapai puncaknya, lalu melemah dan runtuh:
Pembentukan: Sebuah kelompok yang memiliki ‘asabiyyah’ (kohesi sosial atau solidaritas kelompok) kuat muncul, bersatu di bawah tujuan dan nilai-nilai bersama.
Ekspansi: Kesatuan ini memungkinkan kelompok tersebut untuk menaklukkan dan membangun tatanan politik baru, yang kemudian membawa pertumbuhan dan kemakmuran.
Stagnasi: Seiring dengan meningkatnya kemakmuran, ‘asabiyyah’ (kohesi sosial atau solidaritas kelompok) mulai melemah. Fokus masyarakat beralih ke kemewahan dan kepentingan pribadi, yang menyebabkan melemahnya ikatan sosial.
Kemunduran: Erosi kohesi sosial membuat peradaban rentan terhadap konflik internal dan ancaman eksternal, yang akhirnya menyebabkan kehancurannya.
Sejarah selalu berulang. Kekuasaan itu tidak abadi, dan semua yang berdiri megah suatu saat akan runtuh. Sebagaimana ombak yang datang silih berganti, begitu pula kekuasaan berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Kejayaan sering kali membuat manusia lupa bahwa segala sesuatu bersifat sementara.
Kerajaan dan kemuliaan itu dipergilirkan
Sejarah selalu berulang dan Allah-lah yang mempergilirkan kekuasaan.
قُلِ ٱللَّهُمَّ مَـٰلِكَ ٱلْمُلْكِ تُؤْتِى ٱلْمُلْكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ ٱلْمُلْكَ مِمَّن تَشَآءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَآءُ ۖ بِيَدِكَ ٱلْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍۢ قَدِيرٌۭ
"Katakanlah, "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkau-lah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."
(QS Ali 'Imran: 26)
Refleksi — Sejarah adalah cermin bagi masa depan
Sejarah bukanlah sekadar catatan masa lampau, tetapi juga cermin bagi masa depan. Sejarah tidak hanya sekadar untuk dikenang, melainkan untuk diambil hikmah dan pelajaran darinya.
Milikilah moral compass yang jelas untuk diri sendiri—integritas, solidaritas, serta komitmen terhadap kebenaran. Jangan pernah mengabaikan atau membiarkan tindakan korupsi tumbuh, karena diam terhadap ketidakadilan berarti memberi ruang bagi kehancuran.
Jangan terlena oleh kenyamanan yang sesaat. Ingatlah misi hidup kita, jangan biarkan kemewahan atau kemudahan melupakan tujuan sejati kita dalam hidup. Hiduplah dengan visi yang lebih besar, dengan memberi manfaat bagi banyak orang. Kita semua memiliki peran dalam membangun peradaban yang lebih baik, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas.
Selalu ingat bahwa sejarah akan mencatat jejak kita. Apakah kita akan dikenang sebagai sosok yang membawa kebaikan dan perubahan positif, atau justru menjadi bagian dari kehancuran? Pilihan ada di tangan kita—apakah kita ingin dicatat dengan tinta emas, atau merah?