Beberapa waktu lalu kita memperingati hari Isra Miraj yang, menurut pendapat mayoritas ulama, bertepatan di malam 27 Rajab. Ini mengingatkan kita pada dua surah dalam Al-Qur’an yang berbicara tentang peristiwa Isra dan Mi’raj.
Peristiwa Isra
سُبْحَـٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًۭا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَـٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَـٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ
Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqṣā yang telah Kami berkahi sekelilingnya 1 agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Isra: 1)
Peristiwa Mi’raj
وَلَقَدْ رَءَاهُ نَزْلَةً أُخْرَىٰ ١٣ عِندَ سِدْرَةِ ٱلْمُنتَهَىٰ ١٤
عِندَهَا جَنَّةُ ٱلْمَأْوَىٰٓ ١٥
إِذْ يَغْشَى ٱلسِّدْرَةَ مَا يَغْشَىٰ ١٦
مَا زَاغَ ٱلْبَصَرُ وَمَا طَغَىٰ ١٧
لَقَدْ رَأَىٰ مِنْ ءَايَـٰتِ رَبِّهِ ٱلْكُبْرَىٰٓ ١٨
Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhan-nya yang paling besar. (QS An-Najm: 13-18)
Tafsir
Disarikan dari Tafsir Jalalain: Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya, Nabi Muhammad ﷺ, pada suatu malam. Allah memperjalankannya dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, yaitu Baitul Maqdis, yang disebut demikian karena jaraknya yang jauh dari Masjidil Haram. Tempat ini diberkahi dengan banyaknya buah-buahan dan sungai-sungai. Perjalanan ini bertujuan untuk memperlihatkan kepada Nabi ﷺ sebagian dari tanda-tanda kebesaran Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, sehingga Dia menganugerahkan nikmat ini kepada Nabi ﷺ.
Nabi Muhammad ﷺ melihat Jibril dalam rupa aslinya pada kesempatan lain, yaitu di Sidratul Muntaha saat peristiwa Mi’raj ke langit. Di dekatnya terdapat surga sebagai tempat tinggal para malaikat, arwah syuhada, dan orang-orang yang bertakwa. Ketika Sidratul Muntaha diselimuti oleh sesuatu, seperti burung-burung dan lainnya, penglihatan Nabi ﷺ tetap teguh—tidak berpaling dan tidak melampaui apa yang diperlihatkan kepadanya. Pada malam itu, beliau melihat sebagian tanda-tanda kebesaran Allah.
Peristiwa Isra Mi’raj seringkali dijadikan bahan untuk mempertanyakan rasionalitas dalam beragama (Islam). Mereka yang mengatakan itu menganggap bahwa peristiwa Isra Mi’raj itu mustahil, dimana seorang manusia di 14 abad yang lalu dapat melakukan perjalanan dari Makkah ke (saat ini) Jerusalem, lalu naik ke langit dan kembali lagi, hanya dalam waktu kurang dari satu malam.
Ada beberapa refleksi pemikiran yang terkait peristiwa Isra Mi'raj. Peristiwa Isra Mi'raj mengundang berbagai perdebatan di era modern, antara lain:
🤔 Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang dicapai manusia modern saat ini, apakah Isra Mi’raj masih bisa dipercaya?
🔬 Tanpa saksi mata dan bukti empiris, apakah Isra Mi’raj ilmiah?
❌ Peristiwa Isra Mi’raj itu mustahil dan tidak masuk akal: Benarkah?
🧠✨ Apakah rasionalitas bisa beriringan dengan keimanan?
Mari kita telusuri bersama.
Refleksi #1 — Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang dicapai manusia modern saat ini, apakah Isra Mi’raj masih bisa dipercaya?
Mereka mengatakan, sebagai manusia modern, tidak layak mempercayai itu karena tidak ada bukti dan saksi.
Jawabannya: tidak tepat jika mendasarkan ketidakpercayaan pada modernitas, karena orang-orang yang tidak percaya sudah ada sejak zaman Nabi saw, 14 abad yang lalu. Artinya tidak perlu menjadi modern untuk tidak percaya.
Justru sebagai manusia modern, seharusnya dia menyadari bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi manusia terus berkembang. Sesuatu yang dianggap mustahil di masa lalu bisa jadi mungkin di masa yang akan datang, misalnya perjalanan udara dan eksplorasi luar angkasa. Jadi, manusia modern seharusnya bisa menalar bahwa peristiwa mukjizat itu bukanlah sesuatu yang mustahil secara logika.
Refleksi #2 — Tanpa saksi mata dan bukti empiris, apakah Isra Mi’raj ilmiah?
Ilmiah berasal dari kata "ilmu," yang berarti pengetahuan yang diperoleh melalui proses berpikir yang logis dan dapat diuji kebenarannya melalui metode rasional.
Bedakan antara rasional dan empiris. Rasional artinya bisa diterima secara logika. Empiris artinya berdasarkan pengamatan oleh indera.
Tidak semua yang rasional itu empiris. Contoh sederhananya adalah konsep angka tak terhingga dalam matematika. Secara rasional kita bisa memahami adanya bilangan tak terhingga, tapi kita tidak bisa mengamati keberadaannya di dunia nyata.
Untuk membuktikan bahwa sesuatu itu rasional, tidak selalu memerlukan bukti empiris. Yang diperlukan adalah membuktikan ia tidak bertentangan dengan prinsip dasar logika.
Kembali ke peristiwa Isra Mi'raj.
Ada seorang sahabat nabi yang percaya betu-betul, yaitu Abu Bakar ra, yang karena itu beliau diberi sebutan Ash-Shiddiq, artinya yang membenarkan. Perhatikan apa jawaban Abu Bakar saat ditayakan kepadanya "Apakah kamu percaya dengan apa yang dia katakan?" Abu Bakar menjawab, "Jika ia mengatakan demikian, maka ia telah berkata benar.".
Sekilas, perkataan Abu Bakar ini nampak biasa saja, tapi sebetulnya itu perkataan yang mencerminkan keimanan yang rasional. Kalimat "Jika ia (Muhammad saw) mengatakan demikian” mengandung makna bahwa Abu Bakar mendasarkan kepercayaannya atas peristiwa ini kepada keimanannya kepada Rasulullah saw.
Dengan kata lain, Abu Bakar ra bersikap rasional bahwa jika kita mengatakan bahwa Muhammad saw adalah benar seorang rasul, maka implikasi logisnya adalah semua yang disampaikan oleh beliau adalah juga benar. Termasuk peristiwa Isra Mi'raj ini.
Perhatikan bahwa ada atau tidak adanya saksi mata dan bukti empiris tidak relevan dalam pembuktian logis. Kita sudah bisa buktikan bahwa peristiwa itu benar secara rasional (logika) karena itu diucapkan seorang rasulullah. Adapun bahwa narasi Isra Mi’raj otentik berasal dari Rasulullah saw, dapat dibuktikan secara empiris melalui kritik sanad (yaitu penelusuran rantai periwayatan hadits untuk memastikan keabsahannya, dengan meneliti kredibilitas para perawi dan kesinambungan sanadnya).
Adapun bahwa Muhammad saw adalah seorang rasul, adalah sesuatu yang juga dapat dibuktikan kebenarannya secara logika. Tapi itu bukan fokus pembahasan kali ini. Bagi yang berminat, ada pembahasan yang cukup baik tentang itu di https://yaqeeninstitute.org/series/proofs-of-prophethood.
Karena dapat dibuktikan secara logika, maka kebenaran Isra Mi’raj itu ilmiah, meski tidak empirik.
Refleksi #3 — Peristiwa Isra Mi’raj itu mustahil dan tidak masuk akal: Benarkah?
Bagi mereka yang mengatakan bahwa Isra Mi'raj itu peristiwa yang mustahil (tidak mungkin), saya katakan begini: pahami dulu konsep “mustahil” dalam ilmu logika.
Dalam ilmu logika formal, setidaknya ada dua macam kemustahilan: (1) mustahil secara logika, dan (2) mustahil secara kebiasaan.
1) Mustahil secara logika (logically impossible)
Mustahil secara logika berarti bertentangan dengan prinsip dasar logika dan akal sehat. Karena itu, ini adalah mustahil yang tidak mungkin benar sampai kapanpun. Ini disebut kontradiksi.
Contohnya, mengatakan bahwa “ada segitiga yang berbentuk lingkaran” adalah kontradiksi. Atau “sebagiannya lebih besar dari keseluruhannya”, ini juga kontradiksi. Yang mustahil secara logika, sampai kapan pun tidak akan pernah benar.
Isra Mi'raj tidak termasuk dalam kategori mustahil secara logika karena tidak ada kontradiksi logis di dalamnya. Karena peristiwa Isra Mi’raj bukan sesuatu yang mustahil secara logika, maka mempercayainya dapat dianggap sebagai sikap yang rasional.
2) Mustahil secara kebiasaan (conceptually or physically impossible)
Mustahil secara kebiasaan artinya tidak mungkin terjadi berdasarkan hukum alam atau kebiasaan yang diketahui manusia.
Perlu diketahui bahwa mustahil secara kebiasaan ini sifatnya relatif terhadap pengetahuan dan daya imajinasi manusia. Sesuatu yang dianggap mustahil di masa lalu bisa jadi menjadi mungkin di masa yang akan datang seiring perkembangan teknologi dan pengetahuan.
Contohnya, berpindah tempat antar benua dalam 1 hari merupakan hal yang mustahil saat manusia masih bepergian dengan unta. Tapi saat ini, sudah jadi hal yang lumrah.
Berbagai macam mukjizat, termasuk peristiwa Isra Mi'raj, masuk dalam kategori mustahil secara kebiasaan, tapi bukan sesuatu yang mustahil secara logika. Manusia hanya belum mampu menjelaskannya dengan pengetahuan yang ada. Bisa jadi di kemudian hari berkembang teknologi yang mampu menjelaskan. Seandainya pun nanti tidak pernah bisa dijelaskan secara empiris, ini tidak mengurangi nilai kebenaran logis dari peristiwa ini. Semua tergantung pada kehendak Allah swt.
Refleksi #4 — Apakah rasionalitas bisa beriringan dengan keimanan?
Justru Islam hadir dengan konsep ketuhanan yang rasional. Karena itu, dalam Al-Qur’an kita seringkali mendapati perintah atau dorongan untuk menggunakan akal dan berpikir logis, bahkan dalam wilayah keimanan.
Sebagai contoh, dalam konsep tauhid (Tuhan itu Maha Esa) saja, Al-Qur’an menjelaskannya dengan pendekatan logika.
Al-Qur’an menjelaskan kelemahan dari argumen yang mengatakan bahwa Tuhan lebih dari satu dengan mengatakan jika Tuhan ada banyak pasti yang satu menciptakan dan yang lain menghancurkan. Karena itu tidak logis mengatakan Tuhan lebih dari satu.
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu” (QS Al-Mu’minun: 91)
Dalam perspektif logika, mengatakan bahwa “Tuhan ada lebih dari satu” adalah kontradiksi. Karena jika Tuhan lebih dari satu, maka Tuhan akan saling membutuhkan, setidaknya butuh kesepakatan satu sama lain agar tidak saling mengganggu kehendak masing-masing. Jika Tuhan saling membutuhkan, maka kekuasaannya tidak absolut. Jika tidak absolut, maka bukan Tuhan. Ini kontradiksi dan karenanya tidak mungkin benar secara logika. Karena “Tuhan lebih dari satu” tidak mungkin secara logika, maka “Tuhan itu Esa” adalah niscaya secara logika.
Penutup
Demikianlah beberapa refleksi pemikiran yang berawal dari memaknai peristiwa Isra Mi’raj. Berbeda dengan konsep teologis dalam agama lain, Islam datang dengan konsep teologis yang rasional karena merupakan agama yang benar. Banyak ayat dalam Al-Quran yang mendorong penggunaan akal dan logika untuk memahami keberadaan Allah dan keesaan-Nya. Proses berpikir yang logis disertai bersihnya hati dari kesombongan akan memudahkan masuknya hidayah pada diri seseorang. Wallahu a’lam.