Belajar dari Ibrahim (1/4): Menggunakan Logika dan Pertanyaan Kritis
Ini adalah bagian pertama dari empat seri yang membahas keteladanan Nabi Ibrahim as. melalui lima kisah yang menunjukkan bagaimana beliau menggunakan logika dan pertanyaan kritis dalam berdakwah.
Dalam QS An-Nahl ayat 120, إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً., Allah menyebut Ibrahim sebagai “ummatan” karena kesempurnaan akhlaknya yang menjadikannya setara dengan satu umat. Ia juga menjadi teladan utama dalam agama, bahkan disebut sebagai sebab keberadaan umat yang bertauhid.
Artikel ini adalah bagian pertama dari rangkaian empat seri yang membahas berbagai sisi keteladanan Nabi Ibrahim as.
Belajar dari Ibrahim (1/4): Menggunakan Logika dan Pertanyaan Kritis (artikel ini)
Belajar dari Ibrahim (2/4): Doa-doa dengan Pandangan Jauh Kedepan (upcoming)
Belajar dari Ibrahim (3/4): Ketaatan dan Kasih Sayang (upcoming)
Belajar dari Ibrahim (4/4): Keberanian dan Kebijaksanaan (upcoming)
Pada bagian ini, kita akan menelusuri salah satu aspek: keteladanan dalam menggunakan logika dan pertanyaan kritis dalam menyampaikan kebenaran.
Mari kita telusuri beberapa ayat dan kisah yang menggambarkan metode berpikir beliau yang luar biasa.
QS Maryam: 42 — Wahai Ayahku, mengapa…?
"Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolongmu sedikit pun?" (QS Maryam: 42)
Ibrahim menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang bernas untuk membuat orang yang ditanya berpikir dan merenung secara mendalam.
Pertanyaan Ibrahim kepada ayahnya sangat mendasar namun dalam maknanya. Ia mempertanyakan ketuhanan berhala setidaknya dari dua sisi:
Berhala tidak bisa mendengar atau melihat, bahkan tidak menyadari bahwa dirinya disembah. Tidak logis menyembah sesuatu yang tidak tahu bahwa dia disembah.
Bila berhala tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan lebih lemah dari manusia, maka tidak logis untuk disembah.
Cara penyampaian Ibrahim pun sangat lembut. Ia tidak kasar, tidak memaksa, bahkan memulai setiap ucapannya dengan "يَأَبَتِ" (wahai ayahku tersayang). Panggilan ini menunjukkan bahwa dakwah bisa tetap tegas dalam argumen, namun penuh kasih dalam penyampaian.
QS Al-An’am: 74 — Dialektika dengan Azar
"Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya (dalam tafsir disebutkan paman) Azar, 'Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sungguh, aku melihatmu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.'" (QS Al-An’am: 74)
Lagi-lagi Ibrahim menggunakan pertanyaan dan diskusi bertukar pikiran untuk membuat lawan bicaranya berpikir dan merenung. Perhatikanlah bagaimana Ibrahim bertanya "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?", yang mempertanyakan logika konsep ketuhanan kaumnya.
Konsep banyak tuhan itu tidak logis karena jika Tuhan ada banyak, maka kekuasaan mereka akan saling membatasi satu sama lain. Fakta bahwa ada banyak berhala yang diperlukan menunjukkan kelemahan masing-masing.
Perhatikan pula bagaimana Ibrahim bertukar pikiran dengan lawan bicaranya dengan mengatakan "Sungguh, aku melihatmu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata". Dalam bahasa kita, ini seperti "Menurut pandangan saya, keyakinan kalian keliru". Ia tidak memaksa, tidak menghakimi, tapi tetap memberikan argumen yang tegas.
QS Al-An’am: 76–79 — Saya tidak suka kepada yang tenggelam
Dalam kisah terkenal ini, Ibrahim mengikuti logika kaumnya yang menyembah benda langit, lalu menunjukkan kesalahannya.
Ia menyebut bintang, lalu bulan, lalu matahari dengan ucapan, “Ini Tuhanku,” tetapi kemudian menolaknya satu per satu karena semuanya terbenam (afala).
Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata, "Saya tidak suka kepada yang tenggelam" (QS Al-An'am: 76)
Afala (menghilang setelah terlihat) menunjukkan sifat perubahan (memiliki awal dan akhir). Segala sesuatu yang berubah tidak layak disembah. Benda-benda langit itu tampak lalu lenyap, maka tak mungkin benda-benda itu adalah Tuhan.
Bukan hanya menolak benda-benda langit, Ibrahim pun menolak semua benda yang memiliki sifat yang sama. Ia mengatakan "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan" (QS Al-An'am: 78). Ia memperkenalkan kerangka berpikir logis kepada kaumnya.
Ibrahim berkata, “Jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, niscaya aku termasuk orang-orang yang sesat.” (QS Al-An'am: 77). Ini penegasan bahwa hidayah tetap datang dari Allah, meski akal bisa menjadi jalan menuju-Nya.
Kemudian Ibrahim menutupnya dengan memperkenalkan siapa Tuhan sesungguhnya yang layak disembah, "Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan" (QS Al-An'am: 79).
QS Al-Anbiya: 52 — Patung yang besar itulah yang melakukannya
"Ketika dia berkata kepada ayahnya dan kaumnya, 'Patung-patung apakah ini yang kalian tekun menyembahnya?'" (QS Al-Anbiya: 52)
Dalam episode ini, Ibrahim mengambil langkah radikal untuk menggugah kesadaran kaumnya: ia menghancurkan berhala-berhala dan menyisakan satu berhala terbesar.
“Maka Ibrāhīm membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya.” (QS Al-Anbiya: 58)
Ketika ditanya siapa pelakunya, ia berkata, “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu jika mereka dapat berbicara.” (QS Al-Anbiya: 63)
Sarkasme ini sangat tajam dan menohok logika. Tujuannya untuk menghancurkan otoritas berhala di benak kaumnya. Jika berhala itu tidak bisa melindungi berhala lain yang lebih kecil, bagaimana ia bisa melindungi manusia? Bahkan berhala itu tidak bisa bicara untuk membantah tuduhan Ibrahim. Jika melindungi dirinya saja tidak bisa, benda-benda ini sangat tidak layak untuk disembah.
QS Al-Baqarah: 258 — Terbitkanlah matahari dari barat
"Tidakkah kamu memperhatikan orang yang membantah Ibrahim tentang Tuhannya (karena) Allah telah memberinya kerajaan?..."
"...Ibrahim berkata, 'Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat.' Maka bingunglah orang kafir itu." (QS Al-Baqarah: 258)
Dalam kisah ini, Ibrahim menghadapi penguasa yang membanggakan kekuasaannya sebagai "tuhan". Ketika ia mengklaim bisa menghidupkan dan mematikan, Ibrahim tidak meladeninya dengan perdebatan panjang. Ia langsung melontarkan tantangan yang tak bisa dibantah: jika kamu benar-benar tuhan, ubahlah arah terbit matahari.
Argumen ini sederhana tapi tak terbantahkan. Lawan bicara Ibrahim terdiam karena benar-benar tidak punya jawaban logis. Inilah kekuatan logika dan hujjah dari orang yang menggunakan akalnya dengan jernih.
Penutup
Sebagai penutup, dari berbagai kisah dan ayat yang telah dikaji, tampak jelas bahwa Nabi Ibrahim as. adalah sosok yang luar biasa dalam menggunakan logika, nalar kritis, dan pendekatan dialogis dalam menyampaikan kebenaran. Ia menunjukkan kebenaran lewat argumen rasional, yang disertai dengan kelembutan, kasih sayang, dan keberanian.
Keteladanan beliau dalam berpikir dan berdakwah menjadi pelajaran penting bagi siapa pun yang ingin menyeru kepada kebenaran dengan cara yang cerdas dan beradab. Semoga bagian pertama dari seri ini membuka cakrawala kita untuk lebih mengenal dan meneladani Ibrahim as. dalam sisi-sisi keteladanan lainnya di bagian-bagian berikutnya.
Referensi
Tafsir Ar-Razi, Mafatih Al-Ghaib
Terjemah Al-Quran Kementerian Agama RI